Kompat Online - Dipublikasikan pertmama kali di Tirto.id bahwa, Ada masa ketika Apple menjadi pemimpin di dunia teknologi lewat produk-produknya yang visioner serta gaya desain tiada duanya. Mulai dari ponsel pintar sampai komputer pribadi, Apple telah menjadi standar emas yang sulit ditandingi.
![]() |
Apple Event 2024. FOtO/Apple,com |
Sebenarnya, masa-masa itu belum terlalu lama berlalu. Lagipula, citra Apple masih sangat kuat, bahkan tetap menyandang status sebagai Most Valuable Brand hingga 2025. Akan tetapi, di balik capaian tersebut, Apple sebenarnya sedang ketar-ketir. Mereka tertinggal cukup jauh dari rival-rivalnya dalam perlombaan yang kini acap kali menghiasi halaman utama pemberitaan: kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Saat perusahaan–perusahaan macam Google, OpenAI, dan Amazon telah mengubah cara manusia bekerja, mencari informasi, dan menciptakan konten, strategi AI Apple justru tidak jelas. Apple tidak hanya gagal memimpin, melainkan tertatih-tatih mengejar ketertinggalan di belakang. Kegagalan ini paling jelas terlihat dari rangkaian masalah yang terus melanda Siri serta terus ditundanya peluncuran Apple Intelligence, paket layanan berbasis AI milik Apple.
Pada awal 2025, memo internal Apple tentang versi terbaru Siri tersebar luas. Menurut laporan Macworld, dalam memo itu, performa Siri disebut “buruk dan memalukan” karena tingkat kesalahannya, dalam beberapa skenario, mencapai 30 persen. Di sisi lain, para pesaing macam Google dan Amazon sukses mengintegrasikan AI dalam ekosistemnya, nyaris tanpa rintangan.
Hal yang dialami oleh Apple bukan hanya soal ketertinggalan dari segi teknologi. Ini adalah cerita tentang sebuah entitas yang belum mampu menyeimbangkan antara etos dan kode etik dengan tuntutan industri yang serba cepat.
"Bahkan janji privasi Apple yang sangat ketat—yang sudah lama menjadi nilai jual—telah menjadi rintangan dalam perlombaan AI yang serba cepat," demikian kritik yang dirincikan oleh Financial Times dan The Verge.
Bagai senjata makan tuan, obsesi akan kesempurnaan dan eksklusivitas justru membawa Apple pada ketertinggalan dalam perlombaan teknologi AI.
Dua Problema Utama
![]() |
Siri, asisten digital Apple yang diaktifkan suara, memberi tahu pengguna iPhone untuk bertanya kepadanya dengan menunjukkan teks 'Silakan, saya mendengarkan' di layar. (FOTO/iStockphoto) |
Selama bertahun-tahun, Siri telah menjadi asisten yang sangat bisa diandalkan. Untuk menjalankan berbagai fungsi seperti menyetel alarm, mengirim pesan, dan memutar musik, ia tak pernah menemui hambatan berarti. Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan AI pada akhir 2022, keluaran yang dihasilkan Siri jadi terkesan arkaik.
Dari situ Apple berupaya merespons dengan menggulirkan proyek rahasia baru yang bertujuan membangun ulang fondasi Siri, lalu mengintegrasikannya dengan sesuatu yang disebut Apple Intelligence. Harapannya, respons dari Siri bisa lebih cerdas dan terutama tidak buta akan konteks.
Sayangnya, mengutip dari laporan Bloomberg, “Integrasi model bahasa besar (large language models/LLMs) ke sistem Siri tidak berjalan mulus, banyak mengandung kesalahan, dan acap kali mengalami penundaan.” Menurut kesaksian para insinyur, kapabilitas generatif Siri terdengar canggung, terpatah-patah, dan rentan eror. Dari sinilah angka kesalahan 30 persen itu berasal.
Arsitektur Siri memang sudah cukup tua dan, memang, awalnya ia didesain hanya untuk merespons perintah sederhana dengan struktur yang sudah ditentukan. Arsitektur ini tidak dirancang untuk menangani sifat dari AI generatif yang kaya akan konteks dan sulit diprediksi. Selagi problem dasar berupa arsitektur belum ditangani, Apple berusaha mengintegrasikan LLMs kepada Siri. Akan tetapi, tentu saja hasilnya jauh dari kata memuaskan.
Tak seperti produsen AI generatif lain, yang sudah mengundang decak kagum dan bahkan dianggap sebagai ancaman bagi pekerjaan masa depan manusia, untuk menjalankan tugas sesimpel memarafrasa catatan pengguna atau menulis pos-el sederhana saja Siri masih kesulitan.
Hambatan Kultural
Di balik itu semua, ada persoalan yang lebih mengakar. Sebagai perusahaan yang mendewakan kesempurnaan, Apple terbukti mampu menjadi perusahaan paling berharga bahkan hingga di 2025. Produk-produknya tidak cuma enak digunakan, tetapi juga punya tampilan mewah dan ikonik.
Celakanya, obsesi Apple akan kesempurnaan ini berbenturan dengan spirit pengembangan AI generatif yang menjunjung tinggi kecepatan pembaruan. Tidak ada kata “sempurna” dalam pengembangan AI, termasuk AI generatif, karena sampai kapan pun akan selalu ada pembaruan-pembaruan yang harus segera diperkenalkan agar satu pengembang memiliki keunggulan komparatif ketimbang para pesaingnya.
Dalam laporan The Verge, insinyur senior Apple, Craig Federighi, secara gamblang menyebut bahwa penundaan pembaruan Siri diputuskan karena Apple merasa produk yang mereka miliki belum memenuhi standar perusahaan. Di satu sisi, Apple memang punya reputasi yang mesti terus dijaga. Akan tetapi, di sisi lain, kehati-hatian justru membuat mereka makin tertinggal.
Selain soal kesempurnaan, obsesi pada privasi juga membuat Apple kesulitan bersaing di ranah AI. Model AI generatif, khususnya LLMs, bergantung pada perpindahan data dalam jumlah besar serta komputasi berbasis awan untuk terus belajar dan beradaptasi sehingga mampu memberikan interaksi berkualitas dengan pengguna.
Perusahaan seperti Google dan Meta telah mengoptimalkan LLMs dengan ekosistem kaya data yang bisa diinput secara real time. Ini memungkinkan mereka mengembangkan model yang makin lama makin terdengar natural karena memiliki pemahaman konteks tingkat tinggi.
Sebaliknya, Apple masih bergeming soal kedaulatan data. Jadi, alih-alih disuplai data secara terus-menerus, fitur AI Apple didesain untuk berjalan nyaris tanpa paparan dunia luar. Memang benar bahwa pendekatan ini membuat data pengguna Apple lebih aman. Namun, di saat bersamaaan, ini membuat AI milik Apple selalu kurang aktual.
Mau tak mau, Apple pun mesti bergantung pada penyedia pihak ketiga, baik OpenAI maupun Gemini, untuk menyediakan pengalaman AI generatif bagi penggunanya. Bagi Apple, itu tampak sebagai win-win solution karena mereka bisa tetap menyediakan AI generatif tanpa mengompromikan privasi pengguna. Namun, apakah ini bakal dianggap cukup memuaskan dalam jangka panjang? Belum tentu.
Saham yang Anjlok dan Masa Depan Perusahaan
Kelemahan yang ditunjukkan Apple dalam perlombaan AI ini membuat bursa saham Wall Street mulai kehilangan kepercayaan. Dalam setahun ke belakang, nilai saham Apple anjlok hingga 20 persen. Berbagai firma kenamaan, seperti Jefferies, Needham, dan BofA, telah menurunkan rating saham Apple. Mereka semua khawatir akan ketertinggalan Apple dalam perlombaan AI.
Itu semua diperparah dengan kegagalan Apple memukau audiens dalam WWDC 2025. Apple memang mengumumkan berbagai pembaruan di segala bidang, mulai dari desain hingga tampilan perangkat lunak. Akan tetapi, pengumuman terkait AI justru merupakan kabar buruk. WWDC 2025 adalah momen ketika Apple secara resmi mengumumkan penundaan pembaruan AI Siri.
Meski demikian, kabar buruk tersebut tidak serta merta berarti kiamat bagi Apple. Gene Munster dari Deepwater Asset Management menyebut, ada dua faktor yang membuat Apple masih memiliki waktu untuk membenahi strategi AI-nya.
Pertama, soal jumlah dan loyalitas pengguna. Menurut Munster, hampir semua pengguna Apple punya lebih dari satu (tepatnya 1,7) perangkat dan menggunakan lebih dari satu (tepatnya 1,5) layanan. Kedua, menurut Munster, layanan AI yang eksis di luar ekosistem Apple belum mampu menggugah para pengguna untuk berpaling sepenuhnya.
“Perangkat yang benar-benar berbasis AI saat ini belum ada. Kalaupun ada, masih dalam tahap pengembangan. Sederhananya, teknologinya memang belum sampai ke arah sana. Tekanan saat ini justru ada pada Jony Ive (eks desainer Apple) dan Sam Altman (CEO OpenAI) yang katanya berencana memperkenalkan perangkat tersebut tahun depan. Perangkat itulah yang nantinya bakal menentukan masa depan Apple,” ujar Munster, dikutip dari 9 to 5 Mac.
Pendek kata, menurut Munster, Apple masih punya waktu sekitar 1-2 tahun lagi untuk "kembali ke jalan yang benar". Dalam dunia teknologi, 1-2 tahun bisa menjadi sangat lama sekaligus terlampau cepat. Keterlambatan selama satu tahun jelas masuk dalam kategori sangat lama karena, sejak 2019, kemampuan AI selalu berlipat ganda setiap tujuh bulan sekali.
Namun, apabila insinyur-insinyur Apple diberi waktu 1-2 tahun untuk mengejar ketertinggalan dan mampu memanfaatkan sepenuhnya keunggulan ekosistem yang mereka miliki—termasuk integrasi perangkat keras dan rekam jejak privasi—mereka masih berpeluang kembali memimpin.
Yang jadi persoalan bukanlah keahlian para insinyur, melainkan obsesi Apple terhadap kesempurnaan serta kemauannya untuk berkompromi. Apabila sikap para petingginya melunak barang sedikit saja, bukan mustahil Apple bisa segera tinggal landas dan meninggalkan keterpurukan sesaat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar