Gunung Kahaya terletak di Dusun Kahaya, Desa Kindang, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel). Dulu, pepohonan lebat, udara joke sejuk. Kini, semua keindahan ini mulai memudar.
Hamparan sekeliling gunung yang berada di salah satu lereng Gunung Loppobattang, ini hanya padang rumput. Di beberapa titik terlihat lereng-lereng terkikis sisa longsor beberapa waktu silam.
“Sangat menyedihkan melihat kondisi Gunung Kahaya yang mengalami degradasi sedemikian parah, hanya dalam rentang beberapa tahun,” kata Muhammad Fadil, Koordinator Komunitas Peta Buta (Kompat) di Makassar, Rabu (23/10/13). Dia menjelaskan hasil ekspedisi di kawasan dengan ketinggian 1.200-1.400 dpl ini, pada 18-20 Oktober 2013.
Menurut Fadil, penyebab utama kerusakan medium di kawasan ini kemungkinan besar aktivitas warga, yang mengkonversi kawasan hutan itu menjadi ladang jagung dan kopi. Pemicu lain karena perdagangan kayu ilegal dari usaha pengolahan kayu lokal di Kabupaten Bulukumba dan sekitar.
“Ada banyak pengusaha kayu di Bulukumba, yang mensuplai kayu untuk meubel baik di Bulukumba, maupun di Makassar. Makin tinggi kebutuhan kayu makin meningkatkan intensitas pengambilan kayu ilegal di kawasan ini,” katanya.
Sedang penanaman jagung di kawasan ini salah satu dipicu module peningkatan produksi jagung 1,5 juta ton, oleh Pemerintah Sulsel beberapa tahun lalu. Program ini membagikan bibit jagung gratis kepada warga. Warga joke membuka lahan, bahkan menanam di kawasan dengan kemiringan 45derajat bahkan lebih.
Kerusakan ekosistem ini diikuti penyusutan populasi satwa langka di kawasan ini. Dulu, sejumlah satwa langka endemik Sulawesi bisa ditemukan di kawasan ini, antara lain anoa, kuskus, elang Sulawesi dan burung nuri.
Khusus anoa, jika beberapa tahun lalu populasi diperkirakan masih sekitar 1.000-an ekor, kini menyusut tajam tinggal 100-an ekor. Penyebabnya, medium rusak dan perburuan. Anoa diburu karena dianggap hama penganggu dan untuk konsumsi. Bagian kepala dan tanduk biasa diawetkan sebagai pajangan di rumah-rumah.
Nasib hampir sama dialami burung elang Sulawesi. Populasi burung langka ini diperkirakan menurun drastis karena penangkapan. “Kalau burung elang, banyak dibunuh karena dianggap hama yang memakan tanaman kopi warga. Kini populasi elang sudah sangat sedikit,” kata Indarto, anggota ekspedisi Kompat.
Degradasi kawasan hutan ini juga dirasakan warga sekitar. Kini, suhu udara makin panas, suplai atmosphere untuk pertanianpun makin berkurang. Pada musim kemarau, beberapa lokasi yang dulu memiliki suplai atmosphere melimpah kini kering. Termasuk danau di lereng bawah gunung ini.
Dampak lain, longsor mulai mengancam sejak dua tahun terakhir. Puncaknya pada Januari 2013, longsor dan banjir bandang besar, yang menghancurkan puluhan rumah di daerah itu. “Longsor dan banjir bandang ini menunjukkan sedemikian parah kondisi Gunung Kahaya saat ini.”
Fadil dan Indarto tak serta-merta menyalahkan warga. Kedua aktivis lingkungan ini menyoroti pemerintah setempat yang minim memberikan pembinaan dan pengawasan.“Saya melihat ada semacam pembiaran pemerintah. Tak pernah ada pembinaan kepada warga, tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan.”
Menurut dia, penebangan pohon terjadi dan pengusaha kayu masuk kawasan ini tak mendapat perhatian pemerintah. “Reboisasi juga tak pernah dilakukan.”
Dia menyesalkan, tidak ada upaya pembinaan dan sanksi bagi pelaku usaha kayu gelondongan di daerah ini. Mereka leluasa memperoleh kayu dari warga dengan membeli langsung kepada pemilik lahan. Jenis kayu yang banyak di kawasan ini sengon dan cempaka, dan memang sangat laku di pasaran.
Warga juga merasa diuntungkan dengan indication perdagangan ini, karena membantu mereka membuka lahan demi kebutuhan pembukaan ladang jagung dan kopi. “Kalau pemerintah mau tegas, meskipun lahan dan pohon-pohon itu adalah milik warga, semestinya ada batasan pengelolaan. Ini malah dibiarkan begitu saja dan tutup mata atas apa yang terjadi.”
Secara histori, keberadaan warga yang bermukim di lereng ini, sejak puluhan tahun silam. Dulu, mereka dari daerah lain, yang mendapatkan hadiah lahan dari Karaeng Kindang, penguasa kerajaan setempat. Mereka turun temurun menguasai kawasan itu dan bermukim permanen. Perkiraan populasi saat ini sekitar 300 keluarga.
(Wahyu Chandra. Sumber: mongabay.co.id)
National Gographic
rumah berita
Hamparan sekeliling gunung yang berada di salah satu lereng Gunung Loppobattang, ini hanya padang rumput. Di beberapa titik terlihat lereng-lereng terkikis sisa longsor beberapa waktu silam.
“Sangat menyedihkan melihat kondisi Gunung Kahaya yang mengalami degradasi sedemikian parah, hanya dalam rentang beberapa tahun,” kata Muhammad Fadil, Koordinator Komunitas Peta Buta (Kompat) di Makassar, Rabu (23/10/13). Dia menjelaskan hasil ekspedisi di kawasan dengan ketinggian 1.200-1.400 dpl ini, pada 18-20 Oktober 2013.
Menurut Fadil, penyebab utama kerusakan medium di kawasan ini kemungkinan besar aktivitas warga, yang mengkonversi kawasan hutan itu menjadi ladang jagung dan kopi. Pemicu lain karena perdagangan kayu ilegal dari usaha pengolahan kayu lokal di Kabupaten Bulukumba dan sekitar.
“Ada banyak pengusaha kayu di Bulukumba, yang mensuplai kayu untuk meubel baik di Bulukumba, maupun di Makassar. Makin tinggi kebutuhan kayu makin meningkatkan intensitas pengambilan kayu ilegal di kawasan ini,” katanya.
Sedang penanaman jagung di kawasan ini salah satu dipicu module peningkatan produksi jagung 1,5 juta ton, oleh Pemerintah Sulsel beberapa tahun lalu. Program ini membagikan bibit jagung gratis kepada warga. Warga joke membuka lahan, bahkan menanam di kawasan dengan kemiringan 45derajat bahkan lebih.
Kerusakan ekosistem ini diikuti penyusutan populasi satwa langka di kawasan ini. Dulu, sejumlah satwa langka endemik Sulawesi bisa ditemukan di kawasan ini, antara lain anoa, kuskus, elang Sulawesi dan burung nuri.
Khusus anoa, jika beberapa tahun lalu populasi diperkirakan masih sekitar 1.000-an ekor, kini menyusut tajam tinggal 100-an ekor. Penyebabnya, medium rusak dan perburuan. Anoa diburu karena dianggap hama penganggu dan untuk konsumsi. Bagian kepala dan tanduk biasa diawetkan sebagai pajangan di rumah-rumah.
Nasib hampir sama dialami burung elang Sulawesi. Populasi burung langka ini diperkirakan menurun drastis karena penangkapan. “Kalau burung elang, banyak dibunuh karena dianggap hama yang memakan tanaman kopi warga. Kini populasi elang sudah sangat sedikit,” kata Indarto, anggota ekspedisi Kompat.
Degradasi kawasan hutan ini juga dirasakan warga sekitar. Kini, suhu udara makin panas, suplai atmosphere untuk pertanianpun makin berkurang. Pada musim kemarau, beberapa lokasi yang dulu memiliki suplai atmosphere melimpah kini kering. Termasuk danau di lereng bawah gunung ini.
Dampak lain, longsor mulai mengancam sejak dua tahun terakhir. Puncaknya pada Januari 2013, longsor dan banjir bandang besar, yang menghancurkan puluhan rumah di daerah itu. “Longsor dan banjir bandang ini menunjukkan sedemikian parah kondisi Gunung Kahaya saat ini.”
Fadil dan Indarto tak serta-merta menyalahkan warga. Kedua aktivis lingkungan ini menyoroti pemerintah setempat yang minim memberikan pembinaan dan pengawasan.“Saya melihat ada semacam pembiaran pemerintah. Tak pernah ada pembinaan kepada warga, tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan.”
Menurut dia, penebangan pohon terjadi dan pengusaha kayu masuk kawasan ini tak mendapat perhatian pemerintah. “Reboisasi juga tak pernah dilakukan.”
Dia menyesalkan, tidak ada upaya pembinaan dan sanksi bagi pelaku usaha kayu gelondongan di daerah ini. Mereka leluasa memperoleh kayu dari warga dengan membeli langsung kepada pemilik lahan. Jenis kayu yang banyak di kawasan ini sengon dan cempaka, dan memang sangat laku di pasaran.
Warga juga merasa diuntungkan dengan indication perdagangan ini, karena membantu mereka membuka lahan demi kebutuhan pembukaan ladang jagung dan kopi. “Kalau pemerintah mau tegas, meskipun lahan dan pohon-pohon itu adalah milik warga, semestinya ada batasan pengelolaan. Ini malah dibiarkan begitu saja dan tutup mata atas apa yang terjadi.”
Secara histori, keberadaan warga yang bermukim di lereng ini, sejak puluhan tahun silam. Dulu, mereka dari daerah lain, yang mendapatkan hadiah lahan dari Karaeng Kindang, penguasa kerajaan setempat. Mereka turun temurun menguasai kawasan itu dan bermukim permanen. Perkiraan populasi saat ini sekitar 300 keluarga.
(Wahyu Chandra. Sumber: mongabay.co.id)
National Gographic
rumah berita
2 komentar:
thanks ya infonya !!!
www.bisnistiket.co.id
pemandangan yang sangat indah dari gunung gunung yang ada di indonesia sehingga wisatawan asing pada berdatangan seharusnya oemerintah bisa memberikan Kursus Bahasa Inggris Yang Bagus Di Bandung agar mereka bisa memberikan pelayanan yang terbaik untuk tamu wisatawan asing
Posting Komentar