Kompat Online - Kabut gelap menyelimuti hati masyarakat Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan di awal tahun. Bagaimana tidak gempa bumi dengan kekuatan 6,2 skala richter dan banjir bandang melebihi lutut orang dewasa berhasil merenggut harta sekaligus nyawa sanak saudara.
Terletak dalam kawasan lingkar cincin api pasifik dunia, tak dapat dipungkiri membuat Indonesia menjadi negara dengan resiko bencana tinggi sepanjang tahun. Hal ini yang kemudian membuat adaptasi dan mitigasi bencana menjadi instrumen penting yang tak boleh diabaikan dalam setiap perumusan kebijakan publik terutama yang berhubungan langsung dengan lingkungan.
Sebagai negara hukum Indonesia memiliki beberapa instrumen hukum yang kemudian dapat dijadikan patokan dalam merumuskan setiap keputusan publik terkait lingungan diantaranya; Undang -undang 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Lebih dari itu ada juga Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ( AMDAL).
Seperti yang diketahui, pada dasarnya ketiga instrumen hukum ini hadir untuk meminimalisir dampak bencana yang ada di negeri ini. Namun hal tersebut nampaknya tidak berjalan sesuai dengan rencana ketika melihat kerusakan besar yang diakibatkan oleh beberapa bencana yang terjadi di Indonesia.
Pakar Hukum Lingkungan Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Muhammad Yunus,SH.,M.Si saat dikonfirmasi oleh readtimes.id mengatakan jika hal ini bisa terjadi karena masih minimnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia pada tataran praktik oleh para pengambil keputusan
” Dasar hukumnya itu sebenarnya sudah ada beberapa, namun komitmen dan penerapan di lapangannya itu yang kemudian sampai hari ini masih kurang terutama di tataran pengambil keputusan “ujar Yunus
Menanggapi terkait dampak dua bencana yang terjadi di Kalsel dan Sulbar menurutnya tak lain adalah imbas dari lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Meluasnya izin area pertambangan dan pembukaan lahan kelapa sawit tanpa memerhatin dampak lingkungan di Kalimantan, serta model pembangunan bangunan publik yang tak memerhatikan peta rawan bencana di Mamuju Sulawesi Barat disinyalir merupakan faktor penyebab besarnya dampak bencana.
Lebih jauh dari itu minimnya kasus perusak lingkungan yang ditanggapi secara serius oleh otoritas yang berwenang yang berujung pada pemberian hukuman yang ringan dimana berbading terbalik dengan dampak dari bencana yang ditimbulkan, juga menjadi bentuk pelemahan hukum lingkungan yang dilakukan secara terstruktur dan tersistematis.
Cek Sumbernya Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar