Kompat Online - Indonesia merupakan rumah bagi 13 spesies rangkong, angka itu menempatkan negara kita penting dalam konservasi rangkong. Dari jumlah tersebut, 2 jenis merupakan spesies endemik Sulawesi, yakni julang sulawesi [Rhyticeros cassidix] dan kangkareng sulawesi [Rhabdotorrhinus exarhatus].
Julang sulawesi [Knobbed hornbill] yang merupakan endemik Sulawesi. Foto: Rhett Butler/Mongabay
Keduanya, masuk daftar merah IUCN dengan kategori Rentan [Vulnerable). Statusnya juga dilindungi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Julang sulawesi memiliki panjang tubuh hingga 104 cm dengan berat mencapai 2,36-2,5 kilogram. Tubuh dan sayapnya berwarna hitam, ekor putih, sementara kakinya hitam. Individu jantan memiliki balung berwarna merah tua, sedangkan betina berwarna kuning yang ukurannya lebih kecil.
Sementara kangkareng sulawesi, sering juga disebut kangkareng kerdil. Ukurannya diperkirakan sebesar 53 cm. Tubuhnya berwarna hitam, sementara ekor dan punggungnya hijau. Pada individu jantan, muka dan tenggorokannya berwarna kuning sedangkan sang betina berwarna hitam.
Salah satu jenis burung rangkong yang paling marak perdagangannya adalah Enggang Gading (Rhinoplax vigil). Burung ini merupakan spesies Rangkong paling besar di Indonesia dengan panjang tubuh 120 cm dan panjang pita pada bulu ekor tengah sepanjang 50 cm. Hampir seluruh bulu di tubuhnya berwarna hitam dan putih, sedang lebar bentang sayapnya mencapai dua meter. Berbeda dengan jenis burung rangkong lain yang bagian balungnya (bagian seperti cula di atas paruh) kopong, burung ini memiliki balung yang padat dengan susunan keratin padat berwarna oranye dan merah padam, sehingga burung ini disebut juga “Rangkong Gading” dan bagian tersebut kerap dikenal dengan sebutan gading merah
Burung ini merupakan spesies dilindungi dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun faktanya, spesies ini banyak diburu bagian balungnya untuk dijadikan ukiran dan aksesoris dan dijual ke pasar gelap internasional. Hasil sebuah penelitian menyebutkan, pada tahun 2013, tercatat setidaknya ada 500 individu Rangkong Gading dewasa yang dibunuh setiap bulannya di Kalimantan Barat untuk diambil balungnya guna memenuhi permintaan pasar gelap. Hal ini masih terus terjadi hingga sekarang dan membawanya ke status Kritis (Critically Endangered/CR), satu langkah lagi ke status Punah (Extinct/EX).
Suer Suryadi, pelopor peneliti rangkong di Sulawesi mengatakan, burung ini tidak bisa tinggal di daerah monokultur. Dia sangat bergantung pada hutan, dengan memberi kontribusi pada keberlanjutan lingkungan.
Di hutan, rangkong menjadikan lubang-lubang alami pada pohon sebagai sarangnya. Meski demikian, diketahui pula beberapa rangkong bersarang di lubang karst, misalnya di wilayah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Lubang-lubang itu merupakan tempat paling aman untuk berkembang biak serta menghindari pemangsa.
Setelah betina menentukan pasangannya, mereka akan hidup bersama dalam sarang. Uniknya, rangkong merupakan spesies monogami. Mereka hanya memiliki satu pasangan, hidup bersama hingga salah satunya mati.
Konservasi rangkong sejauh ini masih menghadapi ancaman seperti diburu untuk dikonsumsi, dipelihara, diperdagangkan, serta rusaknya habitat.
Yoyok Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti dari Rangkong Indonesia memaparkan, interaksi antara manusia dengan rangkong diketahui terjadi sejak lama. Penilaian itu dibuktikan dengan adanya relief di Candi Prambanan sejak 850 Masehi. Kemudian, pada abad 14 di masa pemerintahan Dinasti Ming, paruh rangkong gading sudah dijadikan target perburuan.
Selain itu, masyarakat di beberapa tempat di Indonesia menjadikan rangkong sebagai rujukan simbol dan nilai luhur. Cara pengambilan beserta orang yang mengambil pun tidak sembarangan. Namun belakangan, dia menilai, nilai luhur itu mulai pudar yang digantikan komersialisasi. “Kalau nilai budayanya itu bagus. Saya mengajak masyarkat untuk melindungi rangkong,” katanya.
Tahun 2013, Yokyok melanjutkan, pihaknya mencatat terdapat 6 ribu paruh rangkong yang dijual di pasar global. Sementara, pada 2012 hingga 2019, diperkirakan sebanyak 3.480 paruh rangkong disita Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Tiongkok, dalam upaya penyelundupan.
Kangkareng sulawesi [Rhabdotorrhinus exarhatus]. Foto: Rhett Butler/Mongabay |
Rujukan sumber Mongabay dan WWF Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar