Ekologi

[Ekologi][twocolumns]

Sains & Teknologi

[Sains & Teknologi][bleft]

Takhta yang Runtuh Bangsawan Makassar

The Kompat - Malam itu, di atas benteng Somba Opu yang bergetar oleh dentuman meriam, Sultan Hasanuddin berdiri tegak. Pedangnya berlumur darah, matanya menyala oleh amarah yang membara.


 Takhta yang Runtuh Bangsawan Makassar - unhas.tv

Asap mengepul dari perkampungan di bawah sana, dan suara takbir serta pekik perang terdengar bersahutan dengan lolongan meriam VOC. Tubuhnya lelah, tapi jiwanya belum tunduk. Ia tahu, yang sedang ia lawan bukan hanya pasukan Cornelis Speelman, tapi arus sejarah yang hendak mencabut akar kemerdekaan Makassar dari tanahnya.


Hasanuddin bukan hanya seorang raja, ia adalah simbol perlawanan terakhir atas dunia yang sedang berubah: dari kerajaan maritim yang merdeka menjadi koloni dagang dalam cengkeraman asing. Perang Makassar (1666–1669) bukan sekadar soal siapa yang menang, tapi tentang siapa yang bisa bertahan dalam ingatan.


Dan ketika Perjanjian Bongaya akhirnya ditandatangani, ketika takhta tak lagi berdiri dan senjata disandarkan, muncul satu pertanyaan penting: apa yang tersisa dari kebesaran itu?


Di sinilah buku Making Blood White karya William Cummings menjadi penunjuk jalan. Buku ini adalah sebuah narasi tentang bagaimana para bangsawan Makassar menulis ulang kehormatan mereka, bukan dengan senjata, tetapi dengan pena.


William Cummings adalah sejarawan dan profesor di University of South Florida, yang dikenal karena pendekatan interdisipliner terhadap sejarah Asia Tenggara. Ia mengkaji hubungan antara teks, kekuasaan, dan budaya, terutama di wilayah Sulawesi Selatan.


Dalam bukunya Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar (2002), Cummings membongkar satu gagasan penting yang sebelumnya nyaris luput dari kajian sejarah kolonial: pergeseran metafora darah dalam tradisi bangsawan Makassar, dari yang semula merah menjadi putih.


Konsep Darah Merah dan Darah Putih


Konsep darah dalam masyarakat Makassar bukan sekadar penanda biologis. Ia adalah penanda status. "Darah merah" (dara messa) menjadi simbol keturunan agung, penghubung mitologis antara manusia dan dewata, antara takhta dan langit. Bangsawan sejati, diyakini memiliki darah merah: hangat, mengalir, dan membara.


Namun, setelah kejatuhan Gowa dan masuknya hegemoni kolonial, terjadi sesuatu yang menarik. Dalam naskah-naskah sejarah lokal yang ditulis sesudah Perjanjian Bongaya, muncul satu istilah yang sebelumnya tidak dominan: “darah putih” (dara pute’).


Cummings tidak melihat ini sebagai kesalahan biologis atau metafora yang kebetulan muncul. Baginya, ini adalah transformasi simbolik: upaya elit Makassar untuk menegosiasikan ulang status mereka di tengah perubahan kekuasaan.


William Cummings mencatat, “Darah putih bukan pengingkaran atas darah merah, tetapi reinterpretasi atas apa makna kekuasaan dalam dunia yang sudah berubah.”


Kalimat ini mengandung kearifan yang mendalam. Ia menyiratkan bahwa masyarakat Makassar, khususnya kalangan bangsawan, tidak serta-merta membuang konsep lama, tetapi justru mengolahnya menjadi bentuk baru yang relevan dengan zaman.


Dalam satu kisah yang dikutip Cummings, seorang keturunan bangsawan Gowa, yang sebelumnya memiliki hak dan darah atas takhta dan pedang, memilih jalan sunyi. Ia tak lagi mengepalai pasukan atau membangun benteng. Ia memilih menyepi, menulis tafsir Al-Qur’an, mengajar murid-murid kecil, dan hidup dalam kesederhanaan.


Di tengah masyarakat yang baru saja kehilangan kerajaan dan raja, ia justru dihormati lebih tinggi dari para sisa perwira yang masih memamerkan silsilah mereka.


Mengapa? Karena dalam tatanan sosial yang baru, kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh siapa yang memegang senjata, tapi oleh siapa yang mampu menenangkan luka kolektif melalui ilmu, agama, dan keteladanan hidup. Inilah makna dari darah putih.


Darah putih adalah simbol pengetahuan dan kesucian, bukan lagi keberanian yang berdarah-darah. Ia tidak membakar, tetapi menerangi. Ia tidak mendobrak, tetapi mengalir tenang, lalu menyusup ke dalam struktur baru masyarakat Makassar yang sedang mencari bentuk pasca-kejatuhan.


Cummings menunjukkan bahwa transisi ini tidak terjadi dalam ruang kosong. Ia didorong oleh keruntuhan struktur kekuasaan tradisional dan datangnya rezim kolonial yang mempersempit ruang gerak para aristokrat lama.


Dalam situasi seperti itu, strategi bertahan hidup tidak datang dalam bentuk perlawanan frontal, tetapi melalui penyesuaian budaya dan spiritual. Para bangsawan yang dulu menjadi pemilik darah merah kini menulis silsilah keluarga, menyalin kitab, memelihara manuskrip, dan menjadi penjaga warisan intelektual.


Lebih dari sekadar bertahan, mereka menggubah kekuasaan menjadi kearifan. Mereka tetap menjadi pusat rujukan sosial, bukan karena takhta, tetapi karena pengetahuan.


Relevansi Making Blood White


Dengan menuliskan kisah-kisah semacam ini, Making Blood White tidak hanya menceritakan sejarah bangsawan Makassar, tapi juga memperlihatkan bagaimana manusia mampu menafsirkan ulang martabatnya ketika dunia yang mereka kenal telah runtuh.


Dan dalam reruntuhan itu, darah putih mengalir tenang, membawa makna baru tentang apa artinya menjadi mulia.


Setelah kehancuran politik, para bangsawan Makassar tidak sepenuhnya tersingkir. Sebaliknya, mereka menjelma menjadi pemuka adat, pengelola masjid, penjaga pengetahuan lokal. Mereka tak lagi mengangkat pedang, tetapi pena dan kitab suci.


Dengan menulis silsilah, kronik, dan hikayat, mereka membangun kembali struktur sosial yang runtuh. Mereka mengklaim darah putih sebagai warisan spiritual dan kultural.


Ini bukan pengakuan kalah, tapi bentuk kelangsungan yang cerdik. Dalam bahasa antropologi, inilah bentuk dari cultural resilience: ketika yang tampak berubah, tetapi makna dalamnya tetap bertahan.


Kini, jika kita berjalan-jalan di kawasan Gowa, kita masih bisa mendengar orang berbicara tentang “dara pute’” dengan bangga. Gelar-gelar seperti Karaeng, I Mangngilu, dan Puang masih dipakai, tidak sekadar sebagai peninggalan aristokrasi, tetapi sebagai identitas kultural.


Apa yang ditinggalkan oleh Cummings dalam Making Blood White adalah pemahaman baru bahwa sejarah tidak selalu ditentukan oleh siapa yang menang perang, tetapi oleh siapa yang sanggup menulis ulang makna tentang siapa dirinya.


Darah putih adalah bukti bahwa bangsawan Makassar tidak pernah benar-benar tumbang. Mereka hanya berubah rupa, dari penguasa medan tempur menjadi penguasa narasi. Dan seperti darah yang terus mengalir dalam tubuh sejarah, mereka tetap hidup, dalam kata-kata, dalam silsilah, dalam doa yang dibisikkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


Sebagaimana digambarkan oleh penyair D. Zawawi Imron dalam bait puisinya yang menghentak dan penuh hormat:


Engkau ayam jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin// Berperang terus sampai langit runtuh// Pedangmu patah, engkau gigit musuhmu// Kau ajarkan kami: kalah tidak berarti menyerah


Sultan Hasanuddin telah pergi, tetapi semangatnya tetap tinggal. Dalam darah putih para bangsawan yang menolak tunduk pada narasi penjajah, dan dalam syair yang terus hidup di lidah anak-anak Sulawesi.


Penulis (Yusran Darmawan) adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Pernah kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Makanan dan Pertanian

[Ekologi][twocolumns]

Sejarah

[Sejarah][bsummary]