Suku Loinang yang ada di Luwu Banggai, Banggai. Di kenal dengan suku terasing, mereka hidup dari alam dan memanfaatkan hasil alam. Mereka memiliki segudang pengetahuan terhadap alam, sehingga terkadang mereka sulut untuk ditemukan lantara mereka akan memprediksikan kedatangan calaon tamunya memalui suara burung. Ketika burung itu menunjukkan suara yang sudah mereka fahami sebagai kedatangan tamu yang tidak di undang atau kedatangan mereka bermaksud baik maka dia akan memutuskan, apakah mereka akan menjemput tamunya atau mereka akan menjauhi calon tamunya.
Tradisi upacara adat Loinang banyak memanfaatkan alam, termasuk memanfaatkan telur MALEO sebagai persembahan dalam upacara adat. Untuk mengantisipasi kelangkaan Maleo, mereka memilih menangkarkan atau mengambil dari penangkarang Maleo. Sehingga mereka tidak mengeksploitasi binatang yang sudah terancam punah tersebut. Dalam setiap upacara mereka mengumpulkan 10 butir telur Maleo sebagai sajian dalam upacara. “Mereka mengatakan hanya mengambil dari penagkaran atau pembudidaya Maleo” kata Dr. Ir Muhammad Ramli, M.Si dalam diskusi FGD Assesmen masyarakat Banggai 18/12/2013 kemarin.
Suku Loinang memnfaatkan alam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Suku Loinang memiliki cara tersendiri dalam pemenuhan kebutuhannya. Suara burung sebagai pertanda akan kedatangan orang-orang yang bermaksud baik atau bermaksud buruk. Keunikan Suku Loinang adalah dalam hal pemanfaatan alam untuk sumber kehidupannya, mereka hanya menggunakan ramuan tanaman untuk mendatangkan ikan di sungai yang lansung bisa di tangkap. Ramuan tanaman ini merupakan pelet bagi ikan dan binatang lain sehingga bisa jinak.
Suku Loinag dan tanah ada mereka cukup terancam, dipicu dengan adanya perusahan skala besar pertambangan Nikel, Migas, perkebunan dan IUPHHK, IPKTR, pembalakan liar dan jual beli lahan atas nama kelompok tani. Di wilayah Areal Penggunaan Lain untuk kepentingan investasi. Telah membuka ruang perubahan tutupan hutan, dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banggai. Yang mengalokasikan pola pemanfaatan ruang kawasan lindung didaratan KSA-KPA (kawasan suaka alam-Kawasan pelestarian alam). Wilayah hutan dalam administrasi Kabupaten Banggai 23.726 Ha. (Pusar Banggai)
Dalam lingkup perencanaan kehutanan untuk menetapkan dan memperluas kawasan hutan dari luas hutan 940.553 sampai tahun 2013 akan mencakup areal : Hutan Lindung 173.624 Ha atau sekitar 17,95%. Hutan Suaka seluas 18.654 Ha atau sekitar 1,93%. Kawasan Lindung seluas 257.928 Ha atau sekitar 26,67% dari total keseluruhan guna lahan di Kabupaten Banggai. Dengan demikian ancaman yang akan muncul dari strategi dan pengelolaan kehutanan Kabupaten Banggai. Untuk hal itu telah mendisikriminasikan kepentingan masyarakat adat Loinang yang telah lama beradaptasi dan menfungsikan hutan sebagai hunian. Dan interaksi budaya, budidaya pertanian, berburu untuk mempertahankan hidup.
Tradisi upacara adat Loinang banyak memanfaatkan alam, termasuk memanfaatkan telur MALEO sebagai persembahan dalam upacara adat. Untuk mengantisipasi kelangkaan Maleo, mereka memilih menangkarkan atau mengambil dari penangkarang Maleo. Sehingga mereka tidak mengeksploitasi binatang yang sudah terancam punah tersebut. Dalam setiap upacara mereka mengumpulkan 10 butir telur Maleo sebagai sajian dalam upacara. “Mereka mengatakan hanya mengambil dari penagkaran atau pembudidaya Maleo” kata Dr. Ir Muhammad Ramli, M.Si dalam diskusi FGD Assesmen masyarakat Banggai 18/12/2013 kemarin.
Suku Loinang memnfaatkan alam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Suku Loinang memiliki cara tersendiri dalam pemenuhan kebutuhannya. Suara burung sebagai pertanda akan kedatangan orang-orang yang bermaksud baik atau bermaksud buruk. Keunikan Suku Loinang adalah dalam hal pemanfaatan alam untuk sumber kehidupannya, mereka hanya menggunakan ramuan tanaman untuk mendatangkan ikan di sungai yang lansung bisa di tangkap. Ramuan tanaman ini merupakan pelet bagi ikan dan binatang lain sehingga bisa jinak.
Suku Loinag dan tanah ada mereka cukup terancam, dipicu dengan adanya perusahan skala besar pertambangan Nikel, Migas, perkebunan dan IUPHHK, IPKTR, pembalakan liar dan jual beli lahan atas nama kelompok tani. Di wilayah Areal Penggunaan Lain untuk kepentingan investasi. Telah membuka ruang perubahan tutupan hutan, dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banggai. Yang mengalokasikan pola pemanfaatan ruang kawasan lindung didaratan KSA-KPA (kawasan suaka alam-Kawasan pelestarian alam). Wilayah hutan dalam administrasi Kabupaten Banggai 23.726 Ha. (Pusar Banggai)
Dalam lingkup perencanaan kehutanan untuk menetapkan dan memperluas kawasan hutan dari luas hutan 940.553 sampai tahun 2013 akan mencakup areal : Hutan Lindung 173.624 Ha atau sekitar 17,95%. Hutan Suaka seluas 18.654 Ha atau sekitar 1,93%. Kawasan Lindung seluas 257.928 Ha atau sekitar 26,67% dari total keseluruhan guna lahan di Kabupaten Banggai. Dengan demikian ancaman yang akan muncul dari strategi dan pengelolaan kehutanan Kabupaten Banggai. Untuk hal itu telah mendisikriminasikan kepentingan masyarakat adat Loinang yang telah lama beradaptasi dan menfungsikan hutan sebagai hunian. Dan interaksi budaya, budidaya pertanian, berburu untuk mempertahankan hidup.
1 komentar:
Kepada Penulis KOMPAT:
Saya sangat apresiasi dengan informasi yang ditulis oleh siapa saja, tentang keberadaan masyarakat adat. yang pada intinya memperkuat posisi masyarakat adat dalam wilayah kelola dan pengakuannya sebagai masyarakat yang selalu dimarginalkan(masyarakat terasing).
Pada tulisa SUKU LOINANG: Manfaatkan Sumber Daya Alam Untuk Upacara Adat. itu keliru menurutku, masyarakat adat Loinang, tidak menganut upacara adat seperti yang dimaksud. akan tetapi Upacara Tumpe adalah upacara adat Mian Batui tempatnya di Kecamatan Batui Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah. Tumpe dilakukan 1 tahun sekali(Tumpe mengantar telur ke pulau untuk dipersembahkan pada raja banggai, secara singkatnya demikian).
Sementara masyarakat adat Loinang adalah etnis yang tinggal dan menetap dipunggungan gunung buyujulutumpu, yang hidup dan melestarikan budayanya tidak dengan cara Tumpe kemudian disambung dengan hal, keagamaan secara ritual. karena masyarakat adat Loinang tidak memiliki agama, seperti ritual adat Tumpe(mengantar telur maleo kepada raja banggai).
Harusnya penulis harus dapat pisahkan dimaksud dengan budaya Tumpe dan Masyarakat adat Loinang. agar tidak salah tafsir, karena berbeda etnis Loinang dan sub etnis Batui.
Demikian masukan saya penulis yang baik,
Salam.
Irwan FK
Posting Komentar