Keragaman

[Keragaman][bleft]

Sain dan Teknologi

[Sains & Teknologi][bsummary]

Ekologi

[Ekologi][twocolumns]

MENELUSURI NASIONALISME DALAM PRIMORDIALISME

MENELUSURI NASIONALISME DALAM PRIMORDIALISME: 
WE TENRIAWARU, PANCAITANA BESSE KAJUARA, SULTANAH UMMULHUDA, MATINROE RI MAJENNANG, SUPPA , ARUNG PONE ke 1857-1860, ARUNG PONE
Makam Arung Pone XXIX  Foto : Andi Fachrie Lantera
Sejak saya ke kembali ke kota Makassar, di tahun 2011, sy mulai mencari tahu mengenai sejarah Sulawesi dengan baik. Ini disebabkan karena sy melihat bagaimana kadang-kadang orang mengangkat hal-hal yang bersifat primordialisme tanpa memikirkan hal-hal yang terkait dengan permasalahan nasionalisme. Kadang juga aneh saya berpikir bahwa mengapa seorang mahasiswa dengan masalah suku harus berperang selayaknya perang suku yang ada, padahal seorang mahasiswa di jaman saat ini seharusnya sibuk ‘berperang’ dalam karya terkait dengan kompetensi mereka untuk memperbaiki kapasitas mereka. Tentu agar peningkatan nilai di masyarakat tersebut menjadi bertambah dengan harapan industri-industri di berbagai sector mereka bisa kuasai dan ekonomi menjadi kuat.

Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa adillah sejak dalam pikiran, maka tentu kita harus berpikir dengan baik sebelum melontarkan sebuah kata, mengkrosscek kebenaran-kebenaran dalam pikiran kita, tentu kita harus mulai merekonstruksi kebenaran-kebenaran yang ada, meskipun sulit dalam mendapatkan objektifitas terhadap sebuah persepsi, namun pendekatan mengarah kesana tentu harus terus dilakukan untuk terus mencari kebenaran dalam pandangan perspektif kita.

Penelitian saya ini hampir sudah berlangsung 9 tahunan, sejak 2009, banyak yang saya lakukan sendiri dengan melakukan banyak investigasi dan wawancara langsung terhadap turunan-turunan langsung dari pelaku-pelaku sejarah. Duit dari pribadi dan kadang-kadang tentu ada bantuan-bantuan kecil dari sahabat-sahabat saya. Tentu hingga sekarang ini sy terus melakukan proses dialegtika dengan proses investigasi saya.

Sebagai contoh ketika kita melontarkan ucapan bahwa “orang Bone adalah penghianat” dalam konteks primordialisme. Maka tentu itu adalah pernyataan-pernyataan tak berdasar dan kurang bijak serta tidak memiliki dalil yang sangat kuat. Bahkan jika harus mengangkat masalah kasus yang terjadi di tahun 1600, perkelahian keluarga antara Arung Palakka(Bone) dan Sultan Hasanuddin (Gowa) dimana La Settiaraja (Luwu) juga terlibat, tentu tidak akan mendapatkan jawaban yang benar dan tepat dalam proses tersebut. Ingatlah Indonesia baru diproklamirkan menjadi sebuah Negara di tahun 1945. Dan untuk berbicara tentang Nasionalisme di Indonesia maka tentu harus mulai melakukan proses-proses investigasi dari tahun 1667 Perjanjian Bungaya di Somba Opu. Kemudian di momen 1905 dimana terjadi pertempuran di Bone (La Pawowoi Kr. Segeri, ayahanda Baso Pagilingi Petta Ponggawae), Gowa (I Makkulau Kr. Lembang Parang, ayahanda dari Andi Mappanyukki), dan Luwu (We Kambo ibunda Andi Djemma).

Foto : Andi Fachrie Lantera
Timur Indonesia, khususnya jazirah Sulawesi, maka tentu kita akan erat kaitannya dengan Pajung ri Luwu, Somba ri Gowa, Mangkau ri Bone. 3 kerajaan bersaudara yang mengontrol peradaban di Timur Indonesia ini. Selalu dilontarkan kadang-kadang bahwa Arung Palakka penghianat, sehingga orang-orang di luar kabupaten Bone yang banyak tidak mempelajari sejarah dengan baik dan biasanya terdoktrinisasi saja dengan sentimental politik, lalu mengagitasikan kadang-kadang bahwa orang Bone itu adalah penghianat. Tentu itu adalah pernyataan yang sangat tak berdasar dan harus diperhatikan baik-baik siapa beliau dan harus mulai di cari tahu silsilah keluarganya malahan untuk mengetahui sentimental pernyataan tersebut. Pernyataan itu adalah pernyataan yang sangat menyakitkan jikalau kita berada di keluarga yang sejak kecil lahir di kabupaten Bone, harusnya masyarakat mahasiswa kadang-kadang harus lebih bijak dalam melontarkan kata-kata demikian. Kalau saya kemudian bertanya, dari 3 kerajaan tersebut yang melawan Belanda pertama kali setelah perjanjian Bongaya (1667)? Tidak kagetkah kita bahwa dari 3 kerajaan tersebut yakni Luwu, Gowa, Bone, bahwa Raja Bone lah yang pertama kali melawan Belanda setelah perjanjian Bongaya tersebut. Sebut saja Mangkau Bone WE IMANIRATU, I MANNENG ARUNG DATA, SULTANAH SALIMAH RAJIYATUDDIN, MATINROE RI KESSI, (1823-1835) karena tak ingin bersepakat dengan Belanda dalam pembaharuan perjanjian Bongaya. Penolakan ini dilanjutkan oleh raja-raja berikutnya termasuk ponakannya yang bernama WE TENRIAWARU, PANCAITANA BESSE KAJUARA, SULTANAH UMMULHUDA, MATINROE RI MAJENNANG, SUPPA , ARUNG PONE 1857-1860. Mangkau Bone We Tenriawaru ini adalah nenek dari Andi Mappanyukki dari jalur ibundanya. Andi Mappanyukki adalah seorang Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 89/TK/2004. Dan Andi Mappanyukki juga adalah raja Bone yang juga sekaligus mertua dari Andi Djemma yang merupakan Raja Luwu dan juga seorang Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 073/TK/2002.

Makassar, Jumat 27 Juli 2018
Andi Fachrie Lantera

Tidak ada komentar:

Sejarah

[Sejarah][bsummary]

Makanan dan Pertanian

[Ekologi][twocolumns]