PERKEBUNAN SAWIT |
Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno mengatakan, pemerintah harus mampu mengamankan kepentingan ekonomi nasional di pasar global, salah satunya komoditas sawit. "Negara harus berpihak kepada minyak sawit yang berada dalam ancaman Greenpeace. Karena selama ini, negara merasakan keuntungan dari penerimaan devisa negara," kata dia melalui siaran pers.
Komoditas sawit berkontribusi besar bagi devisa negara sekaligus sumber devisa utama dengan capaian 22,97 miliar dolar AS atau Rp 318 triliun pada 2017. Dampak positifnya adalah neraca dagang nonmigas surplus sebesar 11,83 miliar dolar AS.
Benny menyebutkan, kemampuan sawit untuk menutup defisit neraca perdagangan sangatlah penting bagi pemerintah. Menurutnya, aksi Greenpeace yang terlalu lama dibiarkan berdampak pada terhambatnya ekspor sawit ke Eropa.
"Untuk itu, Indonesia bisa mengikuti kebijakan India yang membekukan Greenpeace," ujarnya.
Senada dengan Benny Soetrisno, petani pum meminta pemerintah bertindak tegas kepada Greenpeace. Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino menambahkan, kampanye Greenpeace telah menghina martabat Indonesia melalui tuduhan minyak sawit karena pembukaan hutan. Padahal, tuduhan tersebut tidak terbukti.
Indonesia sendiri tengah berbenah memperbaiki industri kelapa sawit secara bertahap.
Sahat Sinaga, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengatakan, Indonesia tidak boleh tunduk dengan tuntutan Greenpeace karena kampanye mereka bersifat barbar dan provokatif. Mengingat Indonesia sedang membenahi tata kelola sawit tetapi Greenpeace seenaknya menyudutkan sawit. Sebagai langkah awal, pemerintah dapat mengaudit sumber pendanaan Greenpeace.
"Greenpace sebaiknya dibekukan seperti di India karena tidak memberikan manfaat apapun bagi Indonesia. Mereka tidak menambah perbaikan ekonomi Indonesia malahan merecoki kepentingan ekonomi kita,"ujarnya.
Sumber Republika.co.id Cek Disini >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar