Dikutip dari Tirto.id Dalam Program Diet Sehat Terdapat Bumi yang Kuat dijelaskan
Bagaimana Makanan Turut Pengaruhi Iklim?
Jika kita membeli suatu makanan di restoran, harga yang tertera di menu adalah harga yang dihasilkan dari hitung-hitungan biaya bahan baku, proses produksi, dan profit restoran.
![]() |
Ilustrasi |
Akan tetapi, jika ditelisik lebih dalam, biaya produksi makanan tidak hanya soal uang. Dalam tiap sendok makanan yang kita santap, kita sebenarnya turut menanggung dampak polusi yang ditimbulkan untuk memproduksinya.
Ongkos yang perlu ditanggung akibat rantai produksi makanan juga tidaklah murah. Berdasarkan Basis Data Emisi untuk Penelitian Atmosfer Global Uni Eropa (EDGAR), satu pertiga dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di dunia berasal dari sistem produksi makanan.
Hal itu dapat terjadi karena menu makanan di meja makan kita tidak begitu saja muncul entah dari mana. Santapan itu hadir di hadapan kita setelah melewati perjalanan panjang.
Untuk menghasilkan satu bungkus mi instan, misalnya, pertama-tama kita perlu sebidang tanah subur yang ditebang dan dialihkan jadi ladang gandum. Dari sana, bibit gandum ditanam, kemudian diberi pupuk berupa nutrisi non-alami (kimiawi) yang berisiko terserap oleh perairan dan tanah di sekitarnya sebagai polusi.
Setelah dipanen, kita perlu alat untuk memproses gandum menjadi terigu. Setelah berbentuk terigu, barulah kita bisa mengolahnya menjadi mi.
Untuk mengubah terigu menjadi satu porsi mi kering yang biasa kita temui dalam bungkus mi instan, tepung diolah jadi adonan. Adonan itu lantas dibentuk menjadi helai-helai mi, dikukus dan digoreng dengan api, baru didinginkan untuk kemudian dikemas.
Mari bayangkan proses tersebut dalam skala industri untuk memberi makan 8,2 miliar manusia. Berapa besar lahan subur yang perlu dialihfungsikan? Berapa liter pupuk kimiawi yang diperlukan untuk menutrisi tanaman? Berapa kilowatt-jam listrik yang dibutuhkan oleh alat pengolah bahan mentah? Berapa liter BBM yang diperlukan untuk mengangkut hasil olahan dari hulu ke hilir?
Bayangan sederhana tersebut masih berkisar pada makanan berbahan dasar tanaman (plant-based), belum lagi makanan hewani. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Joseph Poore dan Thomas Nemecek (2018), jenis bahan baku makanan juga berdampak terhadap jumlah emisi GRK yang dihasilkan.
Seturut studi yang terbit di Jurnal Science tersebut, produk hewani cenderung mengeluarkan emisi GRK lebih banyak daripada makanan nabati. Untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi siap olah, misalnya, rangkaian proses pembuatannya menghasilkan emisi GRK setara 60 kg CO₂e (kilogram karbon dioksida ekuivalen).
Oleh karenanya, dengan sadar memilih dan membatasi makanan, sebagaimana yang dilakukan dalam program diet, bisa bermanfaat menekan dampak lingkungan akibat produksi makanan—setidaknya tidak memperparahnya dengan berperilaku kalap tiap kali makan.
Tak Hanya Rantai Produksi, Sisa Makanan juga Mengancam Bumi
Kendati ongkos lingkungan yang kita tanggung dari rantai produksi makanan sama sekali tidak murah, hal itu masih masuk akal mengingat makanan adalah kebutuhan dasar 8,2 miliar manusia di bumi.
Akan tetapi, dampak dari produksi makanan tak hanya emisi yang dihasilkan selama proses produksi. Masalah juga muncul ketika makanan telah berubah menjadi sampah, terutama sisa santapan yang tak habis di piring.
Karena berasal dari produk konsumsi, sampah makanan termasuk dalam sampah organik yang dapat membusuk. Oleh bakteri, sampah makanan diurai menjadi kompos. Namun, pembusukan sampah makanan di TPA menghasilkan residu berupa metana yang berbahaya bagi bumi.
Metana merupakan kontributor kedua yang paling berdampak terhadap perubahan iklim, selain karbon dioksida. Kekuatannya dalam memerangkap panas di atmosfer membuat metana 28 kali lebih berpengaruh memperparah pemanasan global ketimbang karbon dioksida dalam kurun 100 tahun.
Pada 2024 lalu, Food Waste Index Report yang dirilis oleh PBB menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara. Jumlahnya tidak main-main, 14,73 juta ton sampah makanan dihasilkan per tahun. Kalau ditumpuk di atas lapangan bola, kurang lebih, timbunan sampah sisa makanan itu bisa melebihi tinggi dari Gunung Kilimanjaro.
Temuan itu selaras dengan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024. Laporan SIPSN menyebut, persentase tertinggi jenis sampah yang dikelola di Indonesia adalah sampah sisa makanan.
Dengan jumlah yang sama sekali tidak sedikit tersebut, sampah sisa makanan telah berubah menjadi emisi metana yang mengancam bumi. Kerusakan yang terjadi akan lebih parah jika tidak distop dari muaranya, yang selama ini kita anggap enteng: pola makan melebihi kemampuan dan kebutuhan.
Pola Makan Sehat untuk Kita dan Bumi
Memilih dan membatasi konsumsi makanan, menyesuaikannya dengan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh—bukan yang diinginkan oleh nafsu—merupakan konsep dasar kebanyakan diet yang kini jadi tren.
Melalui cara itu, tubuh mendapat manfaat, yakni terhindar dari risiko kesehatan akibat obesitas. Di sisi lain, diet yang berkembang menjadi pola hidup akan membantu mengurangi beban lingkungan.
Seiring waktu, kebiasaan memilih makanan—apakah produk itu adalah olahan nabati atau hewani—turut membiasakan diri memahami hal yang sebenarnya kita santap: proses pembuatan, asal muasal, serta risikonya.
Sementara itu, membatasi konsumsi sesuai kebutuhan tubuh dapat mencegah makanan terbuang percuma karena tersisa.
Manusia punya dosa atas kerusakan iklim yang tengah terjadi, baik itu dari pabrik penghasil polusi, transportasi, hingga konsumsi. Terkait hal terakhir, cara memperbaikinya bisa dimulai dari meja makan, melalui makanan rendah emisi dan pola makan dengan porsi yang cukup, sesuai kebutuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar