AI Mengungkap Kisah kebangkitan bahasa Ainu milik penduduk asli yang pernah menghilangkan Jepang
The Kompat - Cerita pengantar tidur yang didapat Maya Sekine terasa istimewa. Dipilih oleh ayahnya, kisah-kisah penuh warna itu didengarnya melalui berbagai kaset lama yang menampilkan cerita rakyat dalam bahasa Ainu—bahasa yang digunakan para leluhurnya.
Orang-orang Ainu tinggal di kepulauan di wilayah yang sekarang disebut Jepang, sejak abad ke-12. Mereka diam di daerah itu sebelum Jepang datang menjajah mereka.
Masyrakat Ainu di Hokkaido, di depan sebuah gubuk yang mereka persembahkan kepada dewa-dewa yang melindungi desa. Foto diambil dari Journal des Voyages, tahun 1909. © DeAgostini/Getty Images
Sewaktu kecil, cerita favorit Maya adalah tentang serigala Hokkaido yang bernyanyi. Kisah itu disampaikan dengan melodi, korus yang menyiarkan-ayun antara frasa Ainu yang dinyanyikan dan vokalisasi gonggongan.
Namun saat duduk di bangku sekolah, tidak ada satupun teman Maya yang mengerti bahasa Ainu. Meskipun ibu dan kakek-neneknya mengetahui beberapa frasa dalam bahasa tersebut, sebagian besar mereka berbicara bahasa Jepang.
Orang dewasa lainnya di sekitar Maya sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Ainu. Perlahan-lahan dia menyadari, bahasa dan budaya keluarganya di tengah menuju kematian.
Sekarang hanya segelintir penutur asli Ainu yang tersisa. Bahasa ini ada di dalam daftar UNESCO dengan predikat "sangat terancam punah".
Merujuk sejumlah arsip, pada tahun 1870—satu tahun setelah Ezo atau Ezochi (sekarang disebut Hokkaido) dinyatakan sebagai bagian dari Jepang—masih terdapat sekitar 15.000 orang berbicara dalam ragam bahasa Ainu lokal. Kebanyakan dari mereka tidak berbicara dalam bahasa lain.
Namun berbagai kebijakan pemerintah Jepang, termasuk pelarangan bahasa Ainu di sekolah, hampir mencakup bahasa dan budaya tersebut. Pada tahun 1917, jumlah penutur bahasa ini hanya tersisa 350 orang, dan angka itu terus menurun drastis sampai saat ini.
Belakangan, Ainu meniti kebangkitannya. Pada tahun 2019, pemerintah Jepang secara resmi mengakui Ainu sebagai penduduk asli negara tersebut. Mereka mengesahkan berbagai regulasi untuk mendorong inklusi dan visibilitas Ainu di tengah masyarakat Jepang.
Berbagai proyek yang bertujuan melestarikan dan merevitalisasi bahasa Ainu juga tengah berlangsung, satu di antaranya menggunakan AI. Ainu menatap harapannya untuk terus bertahan bersama generasi mendatang.
Maya Sekine lahir dan besar di Nibutani, Hokkaido—tempat sekitar 80% penduduknya dilaporkan memiliki garis keturunan Ainu. Namun pengetahuan tentang bahasa Ainu di wilayah tersebut masih langka.
“Saya rasa keluarga saya unik,” kata Maya.
"Dari pihak ibu, saya adalah Ainu dan keluarganya terkenal dengan kerajinan tangan mereka. Ayah saya [orang Jepang] juga seorang guru bahasa Ainu," ujar Maya, yang kini berusia 20-an tahun dan aktif sebagai pembuat video di YouTube.
"Saya tahu saya istimewa dan beruntung," tambahnya.
Meskipun banyak ciri khas Ainu telah hilang seiring berjalannya waktu, pengetahuan asli masyarakat ini tetap bertahan, termasuk lebih dari 80 cara berbeda untuk mendeskripsikan beruang, menurut ayah Maya, Kenji Sekine.
Bahasa Ainu mencerminkan hubungan masyarakat dengan alam dan penghormatan mereka terhadap makhluk hidup lainnya.
"Dalam cara berpikir Ainu, segala sesuatu selain manusia adalah 'kamuy' (dewa atau dewa spiritual). Beberapa hewan sering disebut 'kamuy', seperti 'kimunkamuy' (beruang) dan horkewkamuy (serigala)," ujar Kenji.
Meskipun Ainu diakui sebagai bahasa nasional kedua, bahasa ini tidak termasuk dalam kurikulum sekolah di Hokkaido.
“Siswa tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari budaya dan bahasa Ainu,” kata Hirofumi Kato, arkeolog sekaligus Direktur Stasiun Global untuk Studi Indigenitas dan Keragaman Budaya di Universitas Hokkaido.
"Hanya ada satu gambaran stereotip tentang budaya dan sejarah Jepang. Sistem pendidikan memperkuat perspektif monokultural ini," jata Hirofumi.
Penghapusan sejarah ini menyulitkan masyarakat Ainu untuk terhubung dengan akar mereka atau menavigasi identitas mereka dalam masyarakat Jepang modern.
Meskipun minat baru terhadap budaya Ainu telah mendorong lebih banyak representasi orang Ainu di media arus utama, misalnya dalam manga, selama ini terjadi berbagai kasus perampasan budaya.
Semasa kecil, Maya merasa terbebani oleh tekanan melestarikan budaya Ainu. Dia pernah menyembunyikan identitas leluhurnya ketika pindah ke sekolah menengah.
Baru setelah masuk universitas, Maya percaya diri untuk merangkul identitas aslinya dan secara aktif mempromosikan budaya Ainu.
Kini, Maya menjadi bagian dari generasi muda yang berusaha mendefinisikan ulang arti menjadi orang-orang berdarah Ainu.
"Bahasa adalah hal terpenting bagi kami. Bahasa adalah hubungan antara budaya dan nilai-nilai kami," kata Maya.
"Keluarga juga. Kami memiliki keluarga besar; kami berkumpul setiap malam dan makan malam. Ini adalah nilai-nilai Ainu," ujarnya.
Meskipun saat ini hanya ada sedikit penutur bahasa Ainu, terdapat banyak sekali kisah lisan yang tersimpan. Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti memanfaatkan arsip audio untuk menghidupkan kembali bahasa Ainu.
"Dengan menggunakan teknologi, proses ini sebagian besar telah terotomatisasi. Mereka sekarang memiliki 300 hingga 400 jam data tentang bahasa Ainu," kata Tatsuya Kawahara, pakar informasi di Universitas Kyoto, yang memimpin proyek pelestarian rekaman Ainu.
"Kualitas suaranya kurang bagus karena banyak yang direkam menggunakan perangkat analog di rumah-rumah, yang terkadang berisik. Pekerjaan ini sangat menantang," ujarnya.
Dengan dukungan dana pemerintah, Kawahara dan rekan-rekannya menggunakan sekitar 40 jam rekaman yang menampilkan uwepeker—istilah untuk prosa naratif Ainu. Rekaman itu berisi delapan penutur, selama ini disimpan Museum Nasional Ainu Upopoy dan Museum Kebudayaan Ainu Nibutani.
Kumpulan rekaman itu merupakan sebagian dari berbagai arsip yang secara total berisi sekitar 700 jam data vokal, yang dikumpulkan sejak tahun 1970-an. Sebagian besar rekaman itu berbentuk kaset, seperti cerita rakyat yang didengar Maya semasa kecil.
Pada tahun 2015, Badan Urusan Kebudayaan Jepang mulai mendigitalkan berbagai rekaman itu untuk penelitian dan pendidikan. Inisiatif menggunakan AI muncul tiga tahun setelahnya.
Secara otomatis, teknologi pengenalan suara konvensional otomatis dibangun dengan kumpulan data besar untuk memahami tata bahasa tertentu, sebelum memulai transkripsi.
Namun bahasa yang terancam punah seperti Ainu tidak memiliki data tersebut. Solusinya, para peneliti harus mengandalkan model "end-to-end" – sebuah pendekatan yang memungkinkan sistem mempelajari cara memproses suara menjadi teks tanpa pengetahuan tata bahasa.
Tim yang digawangi Kawahara kini sedang mengembangkan sistem sintesis bahasa Ainu berbasis AI. Sejauh ini mereka dapat membuat AI tersebut untuk meniru penutur yang telah memberikan lebih dari 10 jam rekaman.
Sistem ini bahkan telah menghasilkan versi audiovisual dari teks dua cerita prosa, berjudul Kisah Beruang, yang ditranskripsi antara 1950-1960, dan Saudari Raijin yang ditranskripsi pada tahun 1958.
Versi audio AI dari Saudari Raijin telah dibagikan kepada Museum Nasional Ainu Upopoy. Data itu kini digunakan untuk melatih para aktor teater.
Bagi telinga yang kurang terlatih, rekaman dengan suara mirip seorang perempuan tua, terdengar sangat alami, dengan jeda yang jelas dan sejumlah infleksi nada yang biasa terdengar dari penutur asli. Meski begitu, rekaman itu terdengar agak cepat.
“Saya berharap AI semacam ini dapat membantu orang-orang di Hokkaido, baik leluhur Ainu maupun kaum muda, untuk mempelajari bahasa Ainu,” kata Kawahara.
Kawahara berkata, AI juga memungkinkan terciptanya avatar virtual, yaitu asisten pengajar Ainu yang dapat membimbing para pembelajar. Timnya juga berharap dapat menangkap lebih banyak dialek Ainu dengan AI serta menyertakan konten dari generasi muda, bukan hanya rekaman lama.
Lanjut ke Part 2 Seberapa akurat sistem AI tersebut?
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris di BBC Future
Tidak ada komentar:
Posting Komentar