Tren Padel : Cuci Gudang Sepeda hingga 60% dan Olah Raga Baru yang Menjadi Tending
The Kompat - Tren memang punya cara unik untuk mengangkat bisnis ke puncak, lalu menjatuhkannya tanpa ampun. Itu yang kini dialami oleh para pelaku bisnis sepeda mewah di Indonesia. Ingat masa pandemi 2020–2021, ketika jalanan dipenuhi pesepeda dari semua kalangan? Sepeda lipat, sepeda gunung, hingga road bike kelas atas jadi rebutan. Ada yang rela antre, ada yang pesan jauh-jauh hari, bahkan tak sedikit yang menggelontorkan ratusan juta rupiah untuk satu unit sepeda demi gengsi dan gaya hidup.
Namun, kini tinggal kenangan. Sejak 2021, penjualan sepeda kelas atas anjlok hingga 70%. Diskon besar-besaran, stok menumpuk di gudang, bahkan toko-toko yang dulu ramai kini satu per satu gulung tikar. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) Eko Wibowo, dampak terbesar dirasakan oleh penjual dan importir sepeda mewah yang sebelumnya laris manis karena tren. “Dulu sepeda mewah jadi simbol gaya hidup. Sekarang, tren olahraga sudah bergeser ke arah lain,” ungkapnya dikutip dari Kompas (5 Agustus 2025).
Pergantian tren yang dimaksud Eko bukan sembarangan. Olahraga padel, yang menggabungkan elemen tenis dan squash, kini sedang naik daun di kalangan menengah ke atas. Lapangan padel bermunculan di Jakarta, Bali, dan beberapa kota besar lain. Selebritas dan influencer ramai mengunggah momen bermain padel di media sosial, menciptakan efek FOMO yang sama seperti saat sepeda booming dulu. Hasilnya? Minat membeli sepeda mahal merosot, sementara masyarakat mencoba olahraga baru yang sedang populer ini.
Fenomena ini menunjukkan satu hal, bisnis yang bergantung pada satu tren, rawan tumbang ketika minat publik beralih. Sepeda ratusan juta yang dulunya jadi simbol status kini kehilangan daya tariknya. Banyak pembeli yang dulunya bersemangat, sekarang menjual kembali sepeda mereka atau membiarkannya berdebu di garasi. Kalau dilihat dari sisi ekonomi, tren ini memiliki ciri khas. Pandemi memicu ledakan minat pada olahraga individu seperti bersepeda, karena orang mencari kegiatan aman di luar rumah. Begitu pembatasan dilonggarkan, pilihan hiburan dan olahraga kembali luas. Minat masyarakat pun menyebar ke aktivitas baru yang dianggap lebih segar dan eksklusif. Sayangnya, bisnis yang tidak punya strategi diversifikasi akhirnya terjebak, sulit menyesuaikan diri dengan cepat.
Bagi para pelaku bisnis sepeda, kondisi ini tentu menyakitkan. Investasi ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk stok, sekarang tak laku. Bahkan beberapa toko harus banting harga 50% hingga 60%, demi mengosongkan gudang. Bagi importir, biaya logistik dan pajak yang tinggi membuat kerugian semakin terasa. Namun, bukan berarti jalan sudah buntu. Para pakar manajemen bisnis olahraga menyarankan agar pelaku usaha melakukan dua hal penting, pertama, memperluas lini produk ke segmen menengah agar pasar lebih luas. Kedua, mengembangkan ekosistem yang tidak hanya menjual barang, tapi juga pengalaman. Misalnya, toko sepeda bisa mengadakan event gowes bersama, pelatihan teknik, atau paket wisata bersepeda yang menghidupkan kembali minat komunitas.
Strategi seperti ini penting karena tren olahraga memang selalu bergerak. Kalau pelaku usaha hanya mengandalkan momen viral, mereka akan selalu berada di posisi rentan. Diversifikasi bukan cuma soal menambah jenis produk, tapi juga memperluas layanan yang membuat pelanggan tetap terhubung meski tren berubah. Sekali lagi, bukan berarti tren sepeda ratusan juta harus segera ditutup. Bisnis ini bisa saja kembali relevan saat minat gowes naik lagi. Tren memang bergulir dan tidak selalu linear. Pelajaran terpentingnya adalah, menaruh semua modal pada satu tren bisa sangat berisiko. Bisnis bukan hanya tentang bertahan, tapi juga soal relevansi. Pelaku usaha yang mampu mengayuh dengan lincah, menyesuaikan jalur saat medan berubah, akan lebih siap menyambut kesempatan berikutnya ketika tren berbalik arah.
Bagi calon pelaku usaha yang ingin masuk ke bidang olahraga, penting untuk memahami bahwa tren selalu punya siklus hidup. Padel yang sekarang sedang naik daun pun, cepat atau lambat, akan menemui titik jenuh. Maka strategi terbaik adalah membangun bisnis yang punya fondasi lebih kokoh daripada sekadar ikut arus tren. Misalnya, fokus pada kebutuhan inti seperti kesehatan, kebugaran, dan komunitas. Bukan pada satu jenis olahraga saja. Usaha seperti pusat kebugaran multifungsi, penyewaan lapangan serbaguna, atau toko perlengkapan olahraga yang mencakup berbagai cabang, akan lebih fleksibel menghadapi perubahan minat konsumen.
Dengan begitu, saat tren baru muncul, bisnis sudah siap memfasilitasi, dan ketika tren lama memudar, pelanggan tetap punya alasan untuk datang. Prinsipnya sederhana, jangan hanya menjual barang atau fasilitas, tapi ciptakan ekosistem yang bisa menyesuaikan diri dengan zaman.
Dalam bisnis olahraga atau sektor apa pun, kelangsungan hidup bukan ditentukan oleh siapa yang ikut tren tercepat, tapi oleh siapa yang bisa beradaptasi. .
---
#ceritabisnis
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar