Keragaman

[Keragaman][bleft]

Sain dan Teknologi

[Sains & Teknologi][bsummary]

Ekologi

[Ekologi][twocolumns]

HUTAN, Kawasan adat Ammatoa

Kawasan Adat Ammatoa” bertempat di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan yang berada sekitar 250 km dari kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut tempat mukimnya, suku Kajang terbagi dalam dua kelompok yaitu suku Kajang Luar dan Suku Kajang Dalam.
Di tengah-tengah maraknya aksi pembalakan liar oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab akhir-akhir ini, melihat praktek hidup Suku Kajang atau yang juga disebut masyarakat adat Ammatoa dalam melestarikan kawasan hutannya seolah-olah memberi secercah harapan bagi kelestarian lingkungan alam. Masyarakat adat Ammatoa yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi.

Hasil wawancara dengan Bapak H. Mansyur, warga kajang yang rumahnya tidak jauh dari pemukiman suku kajang dalam bersama dengan komunitas peta buta (KOMPAT), mongabay indonesia dan aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) mengatakan masyarakat Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.
Beliau juga mengatakan dalam kawasan adat suku kajang berlaku hukum adat yang merupakan norma atau disebut pasang oleh masyarakat ammatoa, Kajang. Ada 4 larangan yang berlaku dalam hukum adat ammatoa Kajang yakni:

1. Tabbang kaju, (kalau sudah menanam 20 pohon ada bukti, bisa menebang untuk membangun rumah)
2. Rao doang, mengambil udang dan ikan sungai dalam kawasan
3. Rao bani, mengambil lebah dalam kawasan adat ammatoa
4. Mengambil rotan dalam kawasan hutan

Jika melanggar adat tersebut diatas maka akan dikenakan sanksi yang biasa disebut pasang oleh suku kajang dalam. Melalui pasang, masyarakat Ammatoa menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis; Turiek Akrakna (Tuhan), Pasang, Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang telah diberikan oleh Turiek Akrakna kepada leluhur mereka. Merawat hutan, bagi masyarakat Kajang merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turiek Akrakna kepada leluhur Suku Kajang.

Pasang secara eksplisit melarang setiap tindakan yang mengarah pada kemungkinan rusaknya ekosistem hutan, seperti menebang kayu, memburu satwa, atau memungut hasil-hasil hutan. Pasang inilah yang memberikan ketentuan tersebut agar aturan yang ditetapkan berjalan dengan efektif. Konsekuensinya, bagi siapa saja yang melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan akan dikenai sanksi yang tegas. Tentang bagaimana usaha agar warga masyarakat menaati aturan pelestarian hutan yang berdasarkan atas pasang, maka di bawah kepemimpinan Ammatoa sebagai Kepala Adat Keammatoaan mengadakan acara abborong (bermusyawarah) yang menetapkan bahwa pelanggaran atas ketentuan pasang yang berhubungan dengan pelestarian hutan dikenakan denda (apabila diketahui pelanggarnya) sebagai berikut:

Pertama, Cappa Babala atau pelanggaran ringan. Cappa Babala diberlakukan terhadap pelanggar yang menebang pohon dari koko atau kebun warga masyarakat adat Ammatoa. Hukumannya berupa denda enam real atau menurut mata uang Indonesia kira-kira setara dengan uang enam ratus ribu rupiah. Selain itu, pelanggar juga wajib memberikan satu gulung kain putih kepada Ammatoa.

Kedua, Tangnga Babala atau pelanggaran sedang. Tangnga babala merupakan sangsi untuk pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan hutan perbatasan atau Borong Batasayya. Pengambilan kayu atau rotan atau apa saja dalam kawasan ini tanpa seizin Ammatoa berarti melanggar aturan Tangnga babala. Ketika seseorang diizinkan oleh Ammatoa untuk mengambil sebatang pohon kemudian ternyata mengambil lebih banyak dari yang diizinkan, maka orang tersebut telah melanggar aturan Tangnga babala ini. Denda dari pelanggaran ini sebesar delapan real atau sebanding dengan delapan ratus ribu rupiah dengan mata uang Indonesia ditambah satu gulung kain putih.

Ketiga, Poko Babala atau pelanggaran berat. Poko babala diberlakukan kepada seluruh masyarakat yang bernaung di bawah kepemimpinan Ammatoa jika melakukan pelanggaran berat menurut adat. Poko babala diberlakukan jika masyarakat adat melakukan pelanggaran di Barong maraka atau hutan keramat dalam bentuk mengambil hasil hutan baik kayu maupun non kayu yang terdapat di dalamnya. Poko babala merupakan hukuman terberat dalam konsep aturan adat masyarakat Ammatoa. Masyarakat adat yang melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi berupa denda dua belas real, atau dalam mata uang Indonesia setara dengan satu juta dua ratus ribu rupiah, kain putih satu lembar, dan kayu yang diambil dikembalikan ke dalam hutan.

Di samping sanksi berupa denda, hukuman adat yang sangat mempengaruhi kelestarian hutan adalah sanksi sosial berupa pengucilan. Hukuman ini bagi masyarakat adat kajang lebih menakutkan. Jika masyarakat melanggar Poko babala maka Ammatoa tidak akan menghadiri setiap acara atau pesta yang dilangsungkannya. Ketika Ammatoa tidak hadir maka setiap acara atau pesta yang berlangsung dianggap sia-sia. Bagi mereka yang telah melanggarnya, lebih baik dipenjara seumur hidup daripada harus terkena Poko babala. Lebih menakutkan lagi karena sanksi pengucilan ini berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai tujuh turunan.

Apabila sebuah pelanggaran tidak diketahui siapa pelakunya, maka adat Ammatoa akan melangsungkan upacara attunu panrolik (membakar linggis sampai merah karena panasnya). Mendahului upacara tersebut dipukullah gendang di rumah Ammatoa dengan irama tertentu yang langsung diketahui oleh warga masyarakat Keammatoaan, bahwa mereka dipanggil berkumpul untuk menghadiri upacara attunu panrolik. Kepada setiap warga masyarakat Keammatoaan dipersilakan memegang linggis yang sudah berwarna merah karena panasnya. Bagi orang yang tangannya melepuh ketika memegang linggis tersebut, maka dialah pelakunya. Sedangkan bagi yang bukan pelaku, tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut. Akan tetapi pada umumnya pelaku tidak mau menghadiri upacara tersebut, sehingga untuk mengetahui pelakunya (yang mutlak harus dicari), maka diadakan upacara attunu passauk (membakar dupa)

Tidak ada komentar:

Sejarah

[Sejarah][bsummary]

Makanan dan Pertanian

[Ekologi][twocolumns]