Ekologi

[Ekologi][twocolumns]

Sains & Teknologi

[Sains & Teknologi][bleft]

ketika Ratusan Orang Tak Berdosa di Sumatera Barat Dibantai Tentara

The Kompat - Tragedi Jam Gadang adalah noda hitam dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Ratusan orang tak terdosa dibantai tentara buntut konflik pemerintah pusat dan PRRI


 "Tragedi di Bawah Jam Gadang, Pasukan A. Yani Bunuh 187 Orang", begitu judul artikel yang dibuat di surat kabar Singgalang 20 Januari 2000 lalu. Artikel ini membahas tentang jumlah korban sebuah peristiwa pilu yang kelak dikenal sebagai Tragedi Jam Gadang 1958.


Ahmad Yani mendapat tugas dari pemerintah pusat memimpin pasukan dalam Operasi 17 Agustus untuk memberantas gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Ketika itu pangkatnya masih kolonel (Wikipedia Commons) ©


Benar, Jam Gadang tak hanya landmark Sumatera Barat yang terletak di Kota Bukittingi. Bangunan setinggi 26 meter itu juga menjadi saksi puluhan orang tak berdosa mati meregang nyawa diberondong Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang ketika itu sedang memburu pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).


Lahirnya PPRI


Mengutip Kompas.com, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) adalah sebuah gerakan yang lahir di Sumatera akibat ketidakpuasan di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat saat itu.


Bung Karno menyebut gerakan ini sebagai pengkhianat proklamasi, sebagaimana termaktub dalam kolomnya yang berjudul "Kita Berdjalan Terus" di Madjalah Angkatan Darat No.2-3 thn VII Februari-Maret 1957, seperti dilansir Tirto.ID.


Tapi tentu PRRI tak lahir begitu saja tanpa ada sebab-sebab yang melatarinya. Selain ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat Sumatera Barat terhadap pemerintah pusat di bawah Bung Karnoi. Selain itu, juga untuk membendung derasnya pengaruh komunis yang terus berkembang pesat sejak pertengahan 1950-an.


Pada Agustus dan September 1956 beberapa tokoh dari Sumatera Tengah mengadakan rapat dan pertemuan di Jakarta. Pertemuan itu dilanjutkan dengan reuni 612 perwira aktif dan pensiunan Divisi Banteng pada 20-25 November 1956 di Padang.


Divisi IX Banteng adalah komando militer Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan (1945-1950) dengan wilayah Sumatera Tengah yang meliputi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau.


Dalam reuni itu muncul aspirasi otonomi untuk memajukan daerah. Mereka juga setuju untuk membentuk Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, komandan Resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang.


Pada 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Alasannya adalah karena gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah.


Letkol Ahmad Husein kemudian mengklaim Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terbentuk sejak 15 Februari 1958.


Dalam perkembangannya, PRRI mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah pusat:

    1. Dibubarkannya Kabinet Djuanda
    2. Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX membentuk pemerintahan sementara sampai pemilihan umum berikutnya akan dilaksanakan
    3. Sukarno kembali pada posisi konstitusionalnya.


PRRI juga menuntut terkait masalah otonomi daerah dan perimbangan ekonomi atau keuangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah. Mereka menganggap bahwa pemerintah pusat tidak adil kepada para warga sipil dan militer soal pemerataan dana pembangunan.


Karena itulah mereka menuntut agar pemerintah bisa bertindak lebih adil, khususnya pada pemerataan dana pembangunan di daerah.


Tokoh-tokoh yang menjadi pelopor PRRI di antaranya adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein, Sjafruddin Prawiranegara, Assaat Dt. Mudo, Maluddin Simbolon, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Moh. Sjafe,i J.F. Warouw, Saladin Sarumpaet, Muchtar Lintang, Saleh Lahade, Ayah Gani Usman, dan Dahlan Djambek.

AI Mengungkap Kisah kebangkitan bahasa Ainu milik penduduk asli yang pernah menghilangkan Jepang

Lalu bagaimana reaksi pemerintah pusat?


Untuk merespon gerakan yang oleh Bung Karno disebut kontrarevolusioner ini, pemerintah pusat mengatasinya dengan pendekatan militer. Pemerintah pun melakukan operasi gabungan yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Angkatan Perang RI (APRI) untuk menumpas gerakan PRRI.


Ada beberapa operasi yang dilancarkan oleh pemerintah. Di antaranya adalah:

    1. Operasi Tegas dengan Sasaran Riau dimulai pada 12 Maret 1958 dipimpin oleh Let. Kol. Kaharuddin Nasution.
    2. Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Inf. Ahmad Yani dimulai pada tanggal 17 Agustus 1958 di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani.
    3. Operasi Merdeka (untuk menumpas Permesta di Sulawesi) di bawah pimpinan Letkol Inf. Rukmito Hendraningrat terdiri dari: Operasi Sapta Marga I di Sulawesi Tengah dipimpin oleh Letkol Sumarsono, Operasi Sapta Marga II di wilayah Gorontalo dipimpin oleh Mayor Agus Prasmono, Operasi Sapta Marga III di kepulauan Sangir-Talaud dan Manado dipimpin oleh Letnan Kolonel Magenda, dan Operasi Sapta Marga IV di Manado dipimpin oleh Letkol Rukminto.


Berbagai hal yang menjurus ke kekerasan dilakukan oleh APRI, termasuk menangkan ribuan orang dengan cara paksa karena dicurigai sebagai simpatisan PRRI. AH Nasution sendiri diberi tugas untuk membujuk tentara PRRI untuk menyerah dan kembali ke pangkuan NKRI.


Konflik yang terjadi antara pemerintah pusat dan PRRI sendiri menyebabkan puluhan ribu jiwa menjadi korban. Mendekati 1960, seluruh wilayah di Sumatera Barat berhasil dikuasai oleh para tentara APRI. Para elemen sipil dan tentara diberi sebuah amnesti oleh pemerintah yang kemudian dituangkan ke dalam Keputusan Presiden No. 322 Tahun 1961 pada 22 Juni 1961.


Tragedi Jam Gadang


Salah satu hal paling memilukan yang terjadi selama konflik APRI dan PRRI adalah terjadinya Tragedi Jam Gadang di mana ratusan pria tak berdosa dibantai. 


Sekitar pertengahan 1958, saat operasi militer yang dilakukan oleh pemerintah pusat sedang gencar-gencarnya, ratusan pria sipil digelandang tentara menuju ke arah Jam Gadang. Mereka kemudian dibantai tanpa ampun.


Mengutip Kompas.com, jumlah orang yang dibantai saat itu adalah 187 orang. Mirisnya, hanya 17 orang di antara mereka yang diidentifikasi sebagai anggota PRRI, sementara sisanya adalah orang biasa. Ada yang petani, ada yang pedagang, ada yang pelajar, di mana mereka tidak terlibat langsung dalam pertempuran.


Setelah dibantai, mayat-mayat itu kemudian dijejerkan begitu saja di area sekitar Jam Gadang. Tujuannya adalah menyebarkan teror untuk mematahkan semangat perlawanan masyarakat Sumatera.


Setelah itu, pemerintah pusat membangun "Tugu Pembebasan" di berbagai wilayah di Sumatera Barat. Termasuk di depan Jam Gadang. Tapi tugu tersebut kemudian dihancurkan pada masa pemerintahan Gubernur Sumatera Barat Harun Zain yang bergelar Datuk Sinaro (1967-1977).


Cerita dari Moh. Habib Asyhad Intisari-Online.com 

Tidak ada komentar:

Makanan dan Pertanian

[Ekologi][twocolumns]

Sejarah

[Sejarah][bsummary]